Showing posts with label sosiologiku. Show all posts
Showing posts with label sosiologiku. Show all posts

Monday, January 27, 2020

Kobe, Media Sosial dan Sosiologi

2020 ngapain? 
Yap. Pagi-pagi ada kabar duka, Kobe Bryant dan anaknya Gigi tewas dalam kecelakaan helikopter. 😭
Oke saya gak mau bahas ini. Terlalu sedih.

2020?
Lagi seneng ngulik media sosial nih, dari trend sampe kenapa banyak gen z ninggalin instagram, lalu kok story intagram isinya TikTok?


Masih ingat Bowo anak TikTok? Apa sih goyang-goyang gitu? Alay. Tapi sekarang, banyak dari kita punya TikTok. Generasi Z sekarang kayaknya udah pada pake TikTok. Menurut saya, dulu aplikasi ini buat goyang, tapi setelah saya download, ternyata ada hal yang bermanfat, tergantung kita pilih interest kita apa. Kalau saya comedy dan science. Jadi gak banyak muncul orang goyang jari atau joget-joget.

TikTok sendiri nampilin kesenangan dan kreatifitas. Anak generasi z udah pindah dari instagram aesthetic ke TikTok, apa mereka bosan?
Oh ya, TikTok gak ada orang tua. Jadi seru.

2020 ngapain?
Ngulik-ngulik di google kenapa sih orang-orang pada ribut "Instagram is Listening?". Instagram ngerekam data kita, dia bisa tahu apa yang kita sedang cari lalu muncul iklan di home instagram-nya kita. Ternyata, itu karena data kita sekarang udah kayak butiran debu. Banyak aplikasi kita yang terkoneksi dengan berbagai hal. Sekarang aja kita bisa tahu followers kita umur berapa aja, dari kota dan negara mana aja, mereka interest kemana, dalam 1 postingan berapa interaksinya dan sebagainya. Kita sendiri aja bisa analisis akun media sosial kita sendiri, apalagi perusahaan besar sekelas Instagram. 

Setiap kita nge-like, setiap kali kita klik iklan, aplikasi yang kita pasang di smartphone, secara otomatis terhubung satu sama lain. Mungkin mereka ada kerjasama gitu.

Kadang waktu kita instal, kita gak sadar kalau kasih izin mereka banyak hal, termasuk mereka bisa tahu keberadaan kita. Karena kita mengaktifkan GPSZ di smartphone.

Bisa gak ya, kita gak ada rekam digital? Sekarang aja nyari nama lengkap di goggle, jejak digital kita keluar. Sebenarnya bisa sih, dikurangin aja main internetnya dan punya lebih dari 1 email.

2020?
Terus apa lagi yang dicari di tahun ini.

Kalau kata Mark Zuckerberg "The Future is Private". User sekarang sepertinya suka yang privasi tapi kalau ketemuan bikin cukup efisien. Kalau dalam sosiologi namanya perubahan sosial yang berkelanjutan. Halah. Kayaknya sesuai dengan apa yang dibilang Anthony Giddens kalau dunia post modern ini buat pertemuan itu gak butuh fisik. Online juga udah ketemu. Pacaran itu yang butuh sentuhan fisik, nanti bisa kalah sama yang terdekat. Anjiiiir gak nyambung.
Share:

Friday, July 26, 2019

PUASA SOCIAL MEDIA

Perbincangan antara dua manusia :

👧 : Aku kok ngerasa susah fokus, susah tidur, sering cemas, ya?
👦 : Lha? kok bisa? Emang lagi banyak kerjaan?
👧 : Engga sibuk-sibuk amat kok. Kenapa ya? apa harus ke rumah sakit? tapi aku gak sakit apa-apa.
👦 : hhhmmm. Atau keseringan lembur kali. Coba kurangi lembur. Gak ada orang kaya karena lembur.
👧 : Ya gimana, namanya juga kerja. 
👦 : Belakangan aku sering lihat socmed kamu update terus. Kenapa? Lagi stress ya?
👧 : Mungkin. Tapi aku ngerasa makanku mulai banyak dan dalam 3 minggu naik sekilo. Aneh.
👦 : Nah, berarti kamu stress. Ya namanya juga kerja pasti ada stressnya. Kalau lagi stress, cerita, jangan dipendam. Itu bahaya, nanti kamu mati ! Minimal nanti kamu gila, mau? Coba deh relaksasi. Luangkan waktu buat diri sendiri, baca Al Quran, lakuin hobi, santai gitu. 
👧 : Kan udah cuti 2 minggu lalu. Tapi masih aja kayak gitu.
👦 : Atau kebanyakan main hp kali. Main sosmed. 
👧 : Kayaknya iya sih. Sering kali aku lihat hp. Gak bunyi pun aku rasa hp ku bunyi. Terngiang-ngiang di telinga.
👦 : Tuh kan. Kebanyakan main hp, liat hp, main socmed. Coba deh Puasa Socmed atau kurangilah-kurangilah paling enggak.
👧 : Bisa jadi sih. Belakangan sering lihat-liat instagram sampe lupa waktu. 
👦 : Tuh !
👧 : Tapi kan bosan kalau gak ngapa-ngapain.
👦 : Bosan juga bisa diobatin sama cara lain. Apa kek gitu.  Coba deh kurangi. Paling bagus puasa sih. Aku udah berapa tahun ya gak pakai socmed? Lupa ah. Tapi yang jelas, waktu gak pake socmed, aku jadi ngerasa nyaman. Kalau lagi pengen ngobrol sama orang, langsung ngubungi orangnya, minta waktu duduk bareng di ruang yang sama. Kalau rindu ngomong langsung, I miss you like I miss the rain. Jadi nikmatin koneksi yang sesungguhnya daaaaaaaan aku bisa fokus buat kerja keras bagai kuda.

---------
Saya jadi ingat waktu saya belajar sosiologi dulu, di zaman yang secanggih ini, seperti yang dikatakan Anthony Giddens, tak ada waktu dan ruang yang istimewa, ruang semakin lama semakin tidak dipakai, maksudnya dalam orang berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik.

Media sosial saat ini lebih banyak digunakan sebagai alat pencitraan diri oleh banyak orang, mereka berdramaturgi, begitu dikatakan oleh Erving Goffman. Membangun citra diri sebaik mungkin dan di share di akun miliknya sendiri dan atau menggunakan buzzer.

Kita semakin pasif, semakin tidak bisa membedakan antara yang nyata atau hanya sekedar tontonan. Kita kehilangan substansi pertemuan yang sesungguhnya, kualitas melebihi kuantitas. Mungkin di masa depan pertemuan di dunia nyata adalah hal yang langka, mungkin.

Ah, tapi saya tidak suka berdrama, apalagi berdramaturgi.
Share:

Friday, February 12, 2016

Cita-citaku

12.49.
Sabda Rindunya Glenn Fredly tengah bergema di dalam kamar berwarna biru saya yang tak terlalu besar. Sesekali saya bersin-bersin karena jarang menyapu atau bisa dibilang jarang membersihkan kamar. Sesekali saya juga menarik cairan yang tak begitu banyak mengalir dalam lubang hidung saya yang besarnya tak seberapa.

Saya dari tadi berpikir, kok saya lelah, kok saya lesu, kok rasanya ada yang kurang. Ternyata saya belum makan malam. Pikiran saya memang dari pagi hingga malam tidak fokus, kusut. Makanya, saya mencoba mengurainya lewat tulisan blog saya.

Salah satu doa saya dikabulkan Tuhan "Untuk dapat yang lebih baik". Alhamdulillah. Jujur, saya senang sekali sekaligus deg -degan. Ah, nanti saya menceritakannya.

Kalau flashback, ketika saya masih kecil, katakanlah waktu SD, cita-cita saya banyak. Entah itu dokter, bahkan sampai astronaut.

Melaju sedikit masa SMP, saya lagi gila-gilanya dengan komputer dan internet. Dulu saya pikir, jadi operator warnet itu seru, bisa main internet setiap hari. Tapi tidak bisa karena saya harus melakukan ritual les, sekolah, latihan, dan menunggu jemputan atau menunggu angkutan umum.

Zaman SMA, saya tiba-tiba tidak ingin menjadi apa-apa, hanya sekolah, les, main basket, main internet, main game. Sibuk-sibuk mau lulus SMA, barulah saya berpikir jadi apa. Geolog atau engineer. Tapi saya lulus di jurusan sosiologi.

Saya masih ingat dengan jelas, ketika saya mendaftar untuk Yukdicium eh yudisium dan wis udah eh wisuda di Februari 2014, formulirnya terdapat isian cita-cita. Tanpa pikir panjang, saya menulis WARTAWAN, karena saat itu ada koran  didekat saya. Karena sore itu hari terakhir pendaftaran untuk wisuda.

Dan 10 bulan kemudian, apa yang salah tulis, ternyata menjadi nyata. Sekarang saya menjadi seorang wartawan. Wartawan di Tribun Pekanbaru.

Tapi, sekarang cita-cita saya ingin tidur 9 jam atau jam 9.
Share:

Thursday, June 25, 2015

Ketika Basa Basi Dilagukan

Sudah hampir seminggu Ramadhan datang menghampiri umat Islam di bumi. Sudah berapa yang batal? yang jelas lebih dari satu.  Bulan puasa tahun ini saya menghabiskan nya di jalan. Semoga saya tak tua di jalan.

Belakangan saya sering melihat sesuatu yang memang dari dulu kurang saya sukai. Basa-basi dilagukan dan puji-pujian diutarakan. Ketika saya berada di dalam situasi ini, dalam hati saya berucap "Cepatlah ini berlalu..". Jujur, saya tak betah dengan ramah temeh seperti ini. Mungkin saya belum mengerti siklus hidup dan mencari makan. Mungkin juga saya salah menanggapi arti mimik muka orang-orang ini.

Entahlah, saya merasa terkukung dalam kepalsuan saat itu. Seseorang yang umurnya 15 tahun lebih tua dari saya berkata "Kalau enggak begitu, enggak dapat duit, enggak dapat relasi, mati dimakan cacing,".

Entahlah, mungkin aturan mencari makan seperti itu. Orang-orang yang terlihat apa adanya akan lebih tertinggal.Mungkin. Entahlah saya masih belum paham dengan hal seperti ini.ENTAHLAH.

Kemudian saya ingat tokoh sosiologi yang membahas hal seperti ini, sering saya sebut, Erving Goffman. Teori Dramaturgi. Setiap manusia, punya dua sisi kehidupan, back stage dan front stage. Front stage itu sering kita gunakan untuk mengatur image atau kesan kita didepan orang lain. Biasanya, kita, sebagai manusia ingin terlihat baik dan disukai banyak orang. Itu manusiawi. Tapi apakah di back stage kehidupan kita, kita nyaman dengan kehidupan di front stage tersebut? Apakah hidup ini hanya sekedar mengatur kesan tanpa hidup itu kita nikmati? Mengapa banyak orang yang populer mati bunuh diri padahal kesan yang ia tampilkan selalu bagus? Apa kita hidup hanya berpura-pura? Entahlah, setiap manusia di bumi ini punya jawaban yang berbeda.

Saya sering dikira laki-laki dengan orang yang pertama kali bertemu dengan saya. Sebab, kesan yang saya keluarkan memang seperti iti, rambut pendek,bercelana panjang, kemeja laki-laki, sepatu juga laki-laki. Banyak yang sudah memprotes saya untuk mengubah penampilan saya seperti ini. Bahkan ada yang mengira saya jeruk makan jeruk.

Saya tak mengubris apa permintaan orang-orang kepada saya. Saya begini karena saya suka style seperti itu. Saya masih nyaman. Ya walau terkadang saya risih orang yang menyaman saya dengan "jeruk makan jeruk" tapi saya tak terlalu ambil pusing.Yang jelas saya tak seperti itu, saya masih normal. haha. Mungkin suatu saat saya akan berjodoh dengan pria yang bermil-mil jauhnya dari tempat saya sekarang.

Foto dibawah ini hasil miss komunikasi dengan mas-mas salon langganan saya. Saya menyesal memotong rambut saya. Saya berharap rambut ini berlalu dengan cepat.

Share:

Tuesday, May 19, 2015

Pusing

Saat ini ada satu hal yang membuat saya selalu berpikir. Saya punya banyak rencana tapi tak bisa mengeksekusinya dengan baik. Semua menjadi wacana.

Saya sadar, apa yang saya rencanakan tersebut, jika saya bersungguh-sungguh saya bisa melakukan. Hanya saja, usaha saya untuk melakukannya nihil atau setengah-setengah.

Beberapa hari belakangan, semua rencana itu bermunculan di kepala saya. Apakah saya bisa? Kapan akan saya lakukan? apakah saya mampu? Apakah ini benar-benar di hati saya? apakah apakah dan apakah selanjutnya sampai tak putus hadir dikepala saya yang tak seberapa ini, sampai-sampai saya susah untuk tidur.

Banyak orang yang meyakinkan saya kalau saya bisa, tapi, saya sendiri belum yakin dengan apa yang dikatakan orang-orang ini.

Saya takut gagal. Takut mengambil resiko, takut sekali. Sampai-sampaj sekarang saya kehabisan kata-kata...

Share:

Saturday, April 18, 2015

Tentang Beasiswa

Memang sejak semester lima saya berpikir untuk sekolah lagi setelah lulus S-1. Mengapa? entahlah. Waktu itu saya mulai tertarik dengan yang namanya sosiologi. Saya mulai baca-baca bukunya dengan serius, berbicara manusia yang sudah terlalu mainstream bersama teman-teman saya di labsos saat kuliah dulu adalah hal yang menyenangkan.

Mendapatkan beasiswa itu adalah hal yang menyenangkan, tetapi juga setiap semester dipusingkan dengan target IP yang bikin saya sempat panik kalau saja IP saya tak lebih dari 3.25. Tapi Alhamdulillah sampai lulus bahkan beasiswa saya untuk satu semester saya buaaaaang, hahahahaha. Maaf bukannya sombong, tapi mungkin sedikit pamer, sesekali, biar orang pada dengki. Sederhana.

Setelah lulus, saya sempat mencoba apply beasiswa S-2, tetapi gagal, setelah melihat skor toeflnya. Skor toefl saya masih belum mencukupi.

Saya ingin bercerita sedikit tentang seorang temannya teman saya, ternyata saya juga kenal karena dia anak murid guru les saya dulu, Ibu Herlina. Murid ini mendapatkan beasiswa full program dari pemerintah untuk kuliah di NTU, setelah lulus ia balik lagi ke Indonesia untuk mengabdi di tanah air, karena menurutnya yang memberikan ia biaya sekolah di sana adalah pemerintah, jadi ia harus mengabdi untuk negerinya. Dengan prestasi peraih perunggu olimpiade sains Internasional di Inggris saat SMA dulu, mungkin ia bisa saja diterima di berbagai perusahaan atau kembali sekolah. Keren.

Mendengar hal ini, saya berpikir ulang untuk mencoba me-apply formulir atau mendaftar beasiswa, walaupun nilai toefl saya sudah mencukupi misalnya, saya berpikir, apa saya pantas mendapatkannya? apa nanti yang akan saya berikan untuk negara?

Ditambah katanya S-2 sedang digandrungi saat ini. Berbagai macam alasan mengapa mereka mengambil S-2.

Pada dasarnya mendapatkan beasiswa itu bukan hanya sekedar mendapatkan uang untuk biaya pendidikan atau menghindarkan diri dari yang namanya bekerja. Menurut saya, beasiswa diberikan pemerintah agar yang mendapatkannya dapat membangun negeri ke arah yang lebih baik.

Tapi kebanyakan yang mendapatkan beasiswa, setelah lulus malah hanya memperkaya diri, atau memilih bekerja di luar negeri. Tidak salah juga, memang itu pilihan mereka, tapi yang dikatakan teman saya itu juga benar adanya.

Semoga mimpi saya dipeluk sama Tuhan. Dan apa yang diinginkan tercapai.

Mari tingkatkan nilai toefl !!!!!
Semoga tak jadi wacana yang ini.SEMOGAAAA

Share:

Monday, November 3, 2014

Larutnya kehidupan ke Dalam Media Sosial

Obrolan ini tidak sengaja muncul ketika saya dan teman saya membicarakan tentang media sosial yang sudah membuat kami agak "gila". Sejak ada media sosial, kita bisa dikatakan sebagai generasi menunduk, karena kita, selalu menunduk, maksud saya disini, dizaman ini, kita tidak dapat lepas dari yang namanya smartphone atau alat komunikasi modern yang kita miliki.

Ditambah dengan adanya aplikasi media sosial seperti facebook, twitter, path dan yang lainnya dimana sekarang sedang ramai dikonsumsi dan membuat kehidupan kita larut ke dalam media sosial. Media sosial awalnya di ciptakan untuk mempermudah kita untuk berkomunikasi, ternyata memiliki banyak dampak.

Media sosial semacam kehidupan kedua setelah dunia nyata, apa yang kita rasakan, kita tulis dan kita bagi di media sosial. Seolah-olah tidak ada yang dapat kita ajak untuk berbagi di kehidupan nyata kita, dan setelah kita membuat status di akun media sosial milik kita, entah itu Facebook,Twitter atau path, banyak orang (yang bahkan tidak kita kenal) mengomentari atau menyukai apa yang kita tulis, yang sebenarnya mereka tidak benar-benar tahu.

Media sosial juga bisa membuat kita terkenal, seperti di twitter. Banyak orang terkenal karena berkicau di twitter, tentu ada yang berbobot ada juga yang sampah. Di dunia pertwitteran dinamakan kultwit, kuliah twitter. Mereka akan membagikan informasi atau hal apa saja yang menurut mereka menarik untuk dibagikan, masalah berguna atau tidak, itu urusan nanti, yang penting kultwit dulu, ngumpulin banyak followers dan kemudian di retweet, dan melahirkan selebtwit, hingga menjadi buzzer-buzzer salah satu politisi atau tokoh politik. Terlebih ketika sedang ada pertandingan sepakbola, yang dianggap permainan yang paling mulia di dunia, sedang di putar dilayar kaca. Twitter bisa menjadi ruang bising, penggemar sepakbola yang ada di twitter, lansung bersuara lewat akun-akun mereka. Kuasa dibalik kata-kata.

Dan sekarang aktivitas kita bisa dimonitor secara lansung oleh teman-teman kita. Dunia memiliki path. Banyak pemakai path yang check-in dimana ia berada, sedang mendengarkan lagu, menonton film, membaca buku bisa terlihat di path. Path semacam bentuk ajang mempresentasikan diri kita lebih ekstrim. Karena fitur-fitur yang diberikan seperti itu.

Dizaman yang secanggih ini, seperti yang dikatakan giddens, tak ada waktu dan ruang yang istimewa, ruang semakin lama semakin tidak dipakai, maksudnya dalam orang berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik, seperti mereka yang sedang pacaran jarak jauh, mereka yang ingin membeli barang dari luar kota, mereka tidak butuh tempat atau ruang fisik. Mereka tidak butuh ruang fisik dan waktu yang sangat lama lagi, mereka hanya butuh aplikasi video call dan belanja online, ya tentunya pertemuan yang sebenarnya mereka juga sangat butuh dan belanja online butuh waktu juga untuk barang sampai, tapi disini itu diluar konteks yang dikatakan oleh giddens. Contoh lain ketika Presiden melakukan teleconference kepada bawahannya, seperti yang kita lihat sewaktu pertama kali Jokowi dilantik, tidak perlu bertemua dulu baru mendengarkan keluhan, sekarang tinggal teleconference saja.

Media sosial sekarang lebih banyak dipakai sebagai alat pencitraan diri oleh kaum-kaum politik, mereka berdramaturgi, begitu dikatakan oleh Erving Goffman jika beliau masih hidup. Membangun citra diri sebaik mungkin dan di share di akun miliknya sendiri dan buzzernya.

Kita semakin pasif, semakin tidak bisa membedakan antara yang nyata atau hanya sekedar tontonan. Kita kehilangan substansi pertemuan yang sesungguhnya, kualitas melebihi kuantitas. Mungkin di masa depan pertemuan di dunia nyata adalah hal yang langka, mungkin.

Isi obrolan saya dan teman saya mungkin aneh, memalukan, tak sopan, dan kacau balau. Mungkin ketika itu pikiran kami sedang tidak karuan dan dangkal.
Share:

Friday, August 22, 2014

Hutan Taman Nasional Tesso Nilo


 Ketika bongkar-bongkar file video, saya menemukan video diatas. Satu kata "berkesan".

Ada yang menarik dari sebuah perjalanan dan mendatangi sebuah tempat dengan nama yang sebelumnya tidak pernah kita tahu, kita dengar,kita baca. Pertama, sebagai makhluk, manusia senantiasa ingin menjadi berbeda meskipun dalam kenyataannya masih ada persamaan. Kedua, perasaan pada akhirnya memberikan gairah yang lebih membebaskan diri dari kehidupan yang lurus-lurus saja. 

Ada yang lebih dalam dari itu. Tahun lalu saya mendatangi sebuah tempat bernama  Hutan Taman Nasional Tesso Nilo, selain untuk kepentingan kuliah, saya juga ingin melakukan wisata yang biasanya saya sebut perjalanan yang sangat singkat untuk meringkankan pikiran yang berbau akademis. Sebuah lokasi dalam peta yang terletak di Provinsi Riau, terbentang diempat kabupaten yaitu Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan Kampar. Hutan Taman Nasional Tesso Nilo menurut dosen saya adalah salah satu kawasan blok hutan dataran rendah yang masih tersisa di Sumatera. Hutan ini mengalami penyusutan sekitar 64 persen yang diduga dari pembakaran hutan, pembalakan liar dan perluasan lahan sawit.  Disini kita bisa melihat eksotisme gajah yang menjadi ikon Taman Nasional Tesso Nilo. 

Berwisata ke Hutan mungkin suatu hal yang baru. Tetapi tidak ada salahnya mencoba. Mencapai kesana hanya ada satu cara, hanya jalan darat. Dari Kota Pekanbaru sekitar 4 jam. Sebelum sampai kesana, harus sabar dan menikmati perjalanan yang tidak biasa, jalanan belum diaspal dan kotoran gajah dimana-mana. Selain itu, matahari mambakar kulit dan mendesak tenggorokan.  Mesti penuh kehati-hatian dalam menyetir karena gajah bisa saja lewat atau kejatuhan ranting pohon. Di areal hutan itu juga ada WWF yang akan dengan senang hati menjadi “tour Guide”. Kita bisa bermain dengan gajah flying squad sambil berpatroli di Hutan Taman Nasional Tesso Nilo, memandikan dan memberi makan gajah dan anak-anaknya atau berjalan menyusuri trek wisata (jungle Tracking) di Hutan Taman Nasional Tesso Nilo sambil melacak tanda-tanda keberadaan satwa liar dan melihat-lihat pohon-pohon yang menjulang tinggi adalah kegiatan yang seru. Karena kita belum tentu bisa melakukannya di tempat lain. Tetapi yang tidak kalah seru adalah masuk ke hutan yang terdapat Harimau Sumatra. Pada siang hari, kita tidak akan bisa menemui harimau Sumatra, pihak pengelola mengatakan jika ingin melihat harimau, kita bisa melihatnya pada malam hari. Sayang, kala itu waktu sudah dibagi. Tidak semuanya dijelajahi di Tesso Nilo. Yang membuat saya terkagum, saya melihat sungai Nilo sendiri dengan tanah yang putih, selama ini saya hanya melihat pasir pantai yang putih.  Masuk Hutan memiliki rasa tersendiri, merasakan alam bebas. Udara
segar hutan sangat beda di gunung, di dalam hutan matahari tidak terasa begitu
terik, udara terasa begitu sejuk.  Mengenal tanaman-tanaman yang belum pernah kita tahu, burung-burung yang langka, kita bisa lihat di sana. 



Selalu ada perasaan yang sama persis setiap saya menginjak tempat bernama asing di telinga. Semacam ada kalimat yang mengapung di kepala yang berbunyi “oh, ternyata ada juga kehidupan disini”.

Wisata ke Hutan Taman Nasional Tesso Nilo sudah sarankan oleh pemerintah. Pihak pengelola mengatakan bahwa yang datang ke Hutan Taman Nasional Tesso Nilo ini kebanyakan dari warga asing, sedikit sekali dari orang-orang Indonesia. 

Berwisata kehutan memang tidak biasa, kita memang tidak bisa menemukan orang berjualan souvenir, berjualan makanan, tetapi kita menemukan sebuah ketenangan, ketenangan yang tidak dapat kita dapatkan di kehidupan kota bising dan polusi sekaligus kita bisa lansung berinteraksi dengan alam . Kita bisa menyadari bahwa apa yang kita berikan Tuhan kepada kita harus dijaga dan disyukuri. 
“just living there, in that special moment, in that special place”.

Share:

Sunday, June 29, 2014

Berusaha dan Beribadah

Banyak diantara manusia yang telah berusaha sekeras mungkin untuk mencapai kesuksesan, terutama mendapatkan materi yang berlebih. Ia selalu berusaha sekuat tenaga dan pikiran, tetapi masih memiliki kehidupan yang tidak diharapkannya. Sekeras apapun mereka berusaha, mereka tidak mendapatkannya.

Melihat hal ini saya teringat Max Weber dengan yang ditulisnya berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Saya tidak akan menuliskan teorinya secara gamblang, saya tidak pandai berteori, menjelaskan dengan sempurna, teori ini tentang semangat bekerja, agama dan surga. Koreksi jika saya salah.

Teringat Weber, saya berpikir bahwa jika kita melakukan sesuatu, apapun, kita harus menganggapnya ibadah, tujuannya untuk ibadah, bekerja untuk ibadah, mungkin dengan itu kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Mungkin itu di dunia atau di dunia lain kelak. Mungkin.
Share:

Monday, June 16, 2014

KKN \ Kualitatif


Hari ini saya lelah sekali, mungkin saya kekurangan waktu tidur. Sejak KKN tahun lalu saya sering kekurangan waktu tidur, ada saja hal yang saya lakukan ketika waktu tidur datang.

Saya ingat pada suatu malam, bersama abang saya membicarakan KKN kami masing-masing di pedalaman Riau. Abang saya melaksanakan KKN tahun 1997 atau 1998 saya lupa, sedangkan saya tahun 2013. Kabupaten yang sama cuma tempatnya saja yang berbeda. Tentu saja ceritanya juga berbeda karena saya dan abang saya hidup di zaman yang sedikit berbeda. Tapi yang sama adalah tipe KKN kami.

Malam itu kami sepakat menamai KKN kami adalah tipe kualitatif, kebetulan jurusan kuliah dan almamater  kami sama. Tapi bagi saya pribadi KKN ini adalah slow travelling juga, karena diam di suatu tempat untuk waktu yang relatif lama dibanding hanya sekedar numpang pipis. Saya  punya banyak waktu untuk menyelami kehidupan masyarakat di sana, mengerti kebudayaannya, dan merasakan hal-hal yang tak bisa didapat dengan hanya tinggal sehari-dua hari. Karena KKN ini tak mendapat cukup banyak tempat untuk dilihat dan disinggahi. KKN punya banyak cerita yang menarik untuk dibagikan. Cerita yang takkan terdengar apabila mereka singgah sebentar. Tapi tak banyak yang berkesan di KKN saya, setelah KKN saya melontarkan kata-kata “Lebih baik kita sekongkol daripada kelahi”. Dan saya merasa disana,saya tidak bisa menetap.

Entah mengapa saya menulis ini pada dinihari yang lelah. Mungkin saya hanya mengingat masa-masa KKN yang tak perlu diulang. Dan KKN ini saya merasakan begitu rindu rumah.
Share:

Thursday, April 17, 2014

Iya, Saya Anak Sosiologi, Apa?Apa?

Saya sedang menikmati masa liburan panjang yang tak tahu kapan akan berakhir (baca : nganggur,ijazahpun belum ditangan). Beberapa panggilan kerja juga sudah ada, tetapi ada yang saya tolak karena masalah izin. Banyaknya sih tidak lulus.

Ada hal yang membuat saya sedih, sedih karena ilmu pengetahuan itu ada yang memandang sebelah mata,khususnya ilmu yang saya pelajari saat kuliah, sosiologi.  Ada yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bagus, susah cari kerja, prospek kedepan tidak jelas. Pada dasarnya semua ilmu itu ada gunanya, ada tempatnya. 

Saya banyak belajar dari sosiologi (selain jurusan kuliah saya tentunya), saya jadi bisa tahu masalah sosial, mengapa seperti itu, latar belakangnya apa, masyarakat itu bagaimana, bla,bla,bla. Di sosiologi bisa membahas isu apa saja, yang sensitif juga bisa dibahas, seperti agama dan penyimpangan.Di sosiologi saya jadi tahu tentang kemanusiaan, lebih peka terhadap “ada yang tidak beres” di masyarakat. Walaupun bukan ni saja yang saya dapatkan, tetapi itu salah satu contohnya.

Saya sedih sekali ketika orang memandang jurusan sosiologi sebelah mata. Pada dasarnya kita tidak boleh memandang suatu ilmu tidak seperti itu. Semua ilmu itu ada gunanya.


    From @soundofyogi ,"jangan terlalu serius menanggapi ini"
                                     
Share: