Skip to main content

Menikah itu Tak Bercanda

Seminggu yang lalu, saya melarikan diri sejenak di sebuah kota yang selalu membuat saya rindu, Bandung. Bukan untuk tinggal, tapi untuk menyegarkan pikiran yang sudah kusut dalam dunia perburuhan sekaligus langsung menyampaikan ucapan selamat menikah kepada teman saya @aisyahcha2. Di sini pun saya selalu bertemu teman lama dan teman baru.

Di hari terakhir, saya bertemu kembali dengan temannya @yanimikhoe, @prinzessiny di bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai. Pembicaraan begitu berat untuk saya, menikah. Tapi saya merasa sudah banyak teman yang menikah dan punya anak sekaligus rata-rata mereka seumuran dengan saya. Mereka juga kerap meng-upload di media sosial perkembangan anak mereka. Saya berpikir, apakah memang diumur yang sekarang seperti itu? Apakah saya sudah tua? Terlalu banyak pertimbangan untuk menikah.

Menikah muda tidak buruk, asalkan yang menikah sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab. Apakah sudah dewasa? Apakah sudah bisa bertanggung jawab untuk hidup dengan orang yang akan selalu kita lihat setiap hari, bangun dan tidur? Apakah bisa melakukan hal-hal yang selayaknya dilakukan oleh mereka yang sudah menikah? Apakah bisa melakukan semuanya? Apakah bisa melakukan mau kita?
Kebanyakan orang bilang "Kalau sudah ada pasangan, apa lagi yang ditunggu?" Saya tidak ingin melihat sesuatu secara parsial dan teologis. Rezeki memang diatur oleh Tuhan, tapi apakah itu bisa dijadikan alasan untuk mengambil keputusan sebesar ini.

Menikah memang seperti telah mengerjakan separuh agama, tapi dengan syarat, bahwa pernikahan dapat membuatmu dan pasangan menjadi lebih baik dalam menjalankan ibadah dan baik dalam menjalani kehidupan, itu bagus.

Secara logika, sebuah keluarga akan lebih baik saat berangkat dari kondisi yang lebih baik. Beragama tidak harus membuat orang berhenti berpikir.
Masalah tidak hilang dengan memiliki status sudah menikah. Menikah bukan ajang perlombaan siapa cepat. Menikah bukan menghilangkan pertanyaan orang sekitar "kapan nikah? Umur bertambah terus".

Menikah tak sebercanda itu

Comments

Popular posts from this blog

Hari-Hari yang Terasa Kosong Tapi Tetap Jalan

Sudah tiga hari gue ngerasa hampa. Rasanya kosong banget. Kemarin lusa, gue bahkan udah masuk kerja, kerja dengan serius, pengin cepat-cepat pulang, dan rasanya overwhelmed banget. Tapi entah kenapa, walau gue ngerasa kosong begini, gue tetap bangun. Gue tetap kerja. Tetap makan. Dan walau kecil, gue rasa itu butuh sebuah keberanian. Gue gak tahu kenapa. Tapi gue ngerasa kosong banget jadi manusia beberapa hari ini. Setiap kali kayak gini, gue selalu menghela napas panjang, mencoba nulis apa yang gue rasain. Kadang gue tulis kayak cerita, tapi malah bikin gue makin lesu. Gak tahu mau ngapain. Gue cuma pengin baring. Baca cerita-cerita gue yang udah gue tulis. Gue juga lagi gak sedih. Tapi juga gak bahagia. Gue bahkan gak pengen buka media sosial. Gak pengen lihat Instagram, TikTok, atau YouTube. Gue kayak kehilangan arah. Seperti gak punya tujuan. Hidup gue diem, tapi waktu jalan terus. Tadi malam sebelum tidur, gue coba bersih-bersih ka...

Teori Sosiologi Dan Cinta

Saya tak sengaja terdampar kuliah di jurusan ini. Saya sudah melalui empat semester  di sosiologi UR alias Universitas Riau . Jatuh bangun sama IP sudah saya rasakan, banyak tugas yang sudah saya kerjakan (biasa aja sih sebenernya tugasnya, agak di dramatisir aja) sudah 2 orang senior yang jadiin saya responden (nah di bagian ini sebenernya gak suka, begitu bermasalahkah diri saya sehingga harus diteliti,oke, positif aja, mungkin saya unik. hehehe) . Kalau dipikir-pikir (kali ini saya tumben mikir) sosiologi itu mempelajari semuanya loh, bukan hanya agama, perkotaan, pedesaan, kesehatan, lingkungan, hukum, tapi juga hal yang paling absurd di dunia ini yang bernama CINTA . Iya, cinta. Harusnya mahasiswa sosiologi tidak ada yang jomblo karena ada beberapa teori yang mengaitkan tentang ini. Tidak ada yang ngemis-ngemis cinta atau miskin cinta atau bahkan fakir asmara.  PDKT alias PENDEKATAN itu bisa jadi terinspirasi dari teori kakek sosiolog yang mungkin beliau ter...

Mencoba Menemukan Ketenangan di Tengah Riuhnya Kehidupan

Hidup itu seperti berada di atas papan selancar, terkadang ombaknya tenang, terkadang menggulung-gulung seperti monster raksasa. Dan jujur saja, dalam beberapa bulan terakhir, rasanya saya lebih sering terhempas ombak daripada berdiri gagah di atasnya. Cemas? Oh, cemas itu sudah seperti teman lama yang tak diundang datang setiap hari. Mood buruk? Rasanya seperti awan hitam yang terus menempel di kepala, bahkan saat cuaca cerah. Bayangkan saja, saya, yang dulu penuh semangat menjalani hari-hari, tiba-tiba merasa kehilangan minat pada hal-hal yang biasa saya cintai. Olahraga? Sudah seperti cinta lama yang tak berbalas. Buku? Seakan huruf-huruf di dalamnya berubah menjadi semut-semut yang berlarian tanpa arah. Bahkan serial drama Korea yang biasanya menjadi sahabat setia saat malam datang, kini hanya menjadi tontonan latar belakang saat pikiran saya melayang entah ke mana. Hidup saya, meskipun penuh potensi, kadang terasa seperti teka-teki tanpa petunjuk. Saya berusaha sebaik mungkin untu...