Skip to main content

Melanjutkan Hidup Setelah Orang yang Paling Mengerti Kita Pergi

“I miss you in waves. And tonight, I’m drowning.”

Ada malam-malam di mana kalimat itu tak hanya terasa puitis, tapi real.

Malam ketika sunyi menjadi terlalu riuh, dan yang sudah tiada terasa paling hadir.


Dia yang dulu tahu isi kepala kita sebelum kita sempat mengucap.

Yang tahu suara tawa kita dan juga diam-diamnya luka yang tak pernah kita akui.

Yang mengerti, bahkan ketika kita tak menjelaskan apa pun.

Lalu dia pergi dan dunia tak lagi terasa utuh.


Waktu gak selalu nyembuhin.

Orang bilang, waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi siapa yang bisa benar-benar mengukur itu?

Kadang waktu hanya memberi jeda.

Menambahkan jarak.

Membuat kita terbiasa menjalani hari… tanpa kehadiran yang dulu kita anggap akan selalu ada.


Kalau lo sampai di tulisan ini karena sedang menahan luka semacam itu,

Gue gak akan bilang “sabar ya.”

Gue gak akan pakai kata “ikhlas” sebagai obat serba guna.

Karena gue tahu, ada kehilangan yang terlalu pribadi untuk dibingkai dengan kalimat umum.


Grief tidak perlu dipamerkan

Kesedihan yang lo rasain, datangnya gak selalu terjadwal.

Kadang dia menyelip saat kamu sedang menyeduh kopi.

Kadang ia hadir saat kamu nyalakan lagu lama.

Kadang ia datang diam-diam saat kamu merasa justru sedang baik-baik saja.


You don’t owe anyone your healing.

You don’t have to perform your grief.


Ada hari-hari di mana lo kuat, tertawa, menjawab chat satu per satu.

Dan ada hari-hari ketikalo hanya ingin menarik selimut dan pura-pura dunia sedang mati suara.

Keduanya sah.

Lo gak salah karena belum pulih.

Lo gak gagal karena belum bisa lepas.


Kalau dia masih bisa ngomong...

Barangkali dia gak akan nyuruh lo segera move on.

Barangkali dia akan bilang dengan tenang:


“Jalan aja pelan.

Aku tahu kamu gak baik-baik saja,

tapi aku percaya kamu gak akan berhenti di sini.”


Mungkin dia akan tersenyum dan menambahkan,


“Tertawalah lagi kalau kamu mau. Aku gak akan marah.

Kamu masih boleh bahagia.

Karena itu juga caramu menjaga aku tetap hidup.”


Melanjutkan itu bukan menghapus

Kita sering merasa bersalah saat mulai merasa lebih baik.

Padahal melanjutkan bukan menghapus.

It’s not about forgetting. It’s about remembering differently.


Itu bukan tentang mengganti posisi seseorang dalam hidup,

tapi tentang memberi ruang baru,

bukan untuk siapa pun,

tapi untuk diri lo sendiri, yang sedang belajar berjalan lagi.


Kalau lo bisa bangun pagi dan menyapa dunia,

meski mata masih berat dan hati masih menyimpan separuh bayangan,

itu sudah bentuk keberanian paling tulus yang bisa kamu hadiahkan untuk dia yang telah pergi.


You didn’t choose this kind of grief.

But you’re choosing to stay.

To breathe.

To keep the lights on.

And that, quietly, gently, is grace.


Melanjutkan hidup setelah kehilangan orang yang paling mengerti kita…

bukan soal garis akhir.

Bukan soal "move on."

Tapi tentang memberi izin kepada diri sendiri untuk hidup… meski belum utuh.


Dan mereka yang pernah lo cintai?

Mereka tidak benar-benar hilang.

Mereka hanya pindah rumah,

dari dunia ini,

ke dalam kenangan yang selalu lo bawa…

di dada yang diam-diam belajar kuat.

-------

Gue nulis ini bukan karena gue udah selesai sama kehilangan.

I mean, how do you even “finish” grief?

It doesn’t end.

It just changes shape.

Gue udah hidup lebih dari setengah umur gue tanpa orang tua.

Mereka pergi satu per satu, dan sejak itu…

gue tumbuh dengan versi diri yang gak lengkap, tapi cukup buat bertahan.

Along the way,

gue juga harus belajar let go of people I once loved deeply.

Some left gently.

Some just… faded away.


Dan rasanya tuh bukan cuma sepi,

tapi kayak...

lo nyalain lagu lama, terus ada ruang yang tiba-tiba kebuka di dada.

Sakitnya gak heboh. Tapi ada.

I’m not here to give you closure.

Or tell you to move on.


Gue cuma pengen bilang,

if you’re still here

still breathing, still waking up,

even when everything inside feels heavy...

That’s not weakness.

That’s resilience in its quietest form.


So if you’re feeling lost right now,

kalau lo lagi ngerasa kosong banget dan gak bisa jelasin ke siapa-siapa...

I’m not gonna say it gets better.

Tapi gue bisa bilang ini:


You’re still here. And that already means something.


Comments

Popular posts from this blog

Hari-Hari yang Terasa Kosong Tapi Tetap Jalan

Sudah tiga hari gue ngerasa hampa. Rasanya kosong banget. Kemarin lusa, gue bahkan udah masuk kerja, kerja dengan serius, pengin cepat-cepat pulang, dan rasanya overwhelmed banget. Tapi entah kenapa, walau gue ngerasa kosong begini, gue tetap bangun. Gue tetap kerja. Tetap makan. Dan walau kecil, gue rasa itu butuh sebuah keberanian. Gue gak tahu kenapa. Tapi gue ngerasa kosong banget jadi manusia beberapa hari ini. Setiap kali kayak gini, gue selalu menghela napas panjang, mencoba nulis apa yang gue rasain. Kadang gue tulis kayak cerita, tapi malah bikin gue makin lesu. Gak tahu mau ngapain. Gue cuma pengin baring. Baca cerita-cerita gue yang udah gue tulis. Gue juga lagi gak sedih. Tapi juga gak bahagia. Gue bahkan gak pengen buka media sosial. Gak pengen lihat Instagram, TikTok, atau YouTube. Gue kayak kehilangan arah. Seperti gak punya tujuan. Hidup gue diem, tapi waktu jalan terus. Tadi malam sebelum tidur, gue coba bersih-bersih ka...

Teori Sosiologi Dan Cinta

Saya tak sengaja terdampar kuliah di jurusan ini. Saya sudah melalui empat semester  di sosiologi UR alias Universitas Riau . Jatuh bangun sama IP sudah saya rasakan, banyak tugas yang sudah saya kerjakan (biasa aja sih sebenernya tugasnya, agak di dramatisir aja) sudah 2 orang senior yang jadiin saya responden (nah di bagian ini sebenernya gak suka, begitu bermasalahkah diri saya sehingga harus diteliti,oke, positif aja, mungkin saya unik. hehehe) . Kalau dipikir-pikir (kali ini saya tumben mikir) sosiologi itu mempelajari semuanya loh, bukan hanya agama, perkotaan, pedesaan, kesehatan, lingkungan, hukum, tapi juga hal yang paling absurd di dunia ini yang bernama CINTA . Iya, cinta. Harusnya mahasiswa sosiologi tidak ada yang jomblo karena ada beberapa teori yang mengaitkan tentang ini. Tidak ada yang ngemis-ngemis cinta atau miskin cinta atau bahkan fakir asmara.  PDKT alias PENDEKATAN itu bisa jadi terinspirasi dari teori kakek sosiolog yang mungkin beliau ter...

Coba Tenang Tapi Riuh

Hidup itu seperti berada di atas papan selancar, terkadang ombaknya tenang, terkadang menggulung-gulung seperti monster raksasa. Dan jujur saja, dalam beberapa bulan terakhir, rasanya saya lebih sering terhempas ombak daripada berdiri gagah di atasnya. Cemas? Oh, cemas itu sudah seperti teman lama yang tak diundang datang setiap hari. Mood buruk? Rasanya seperti awan hitam yang terus menempel di kepala, bahkan saat cuaca cerah. Bayangkan saja, saya, yang dulu penuh semangat menjalani hari-hari, tiba-tiba merasa kehilangan minat pada hal-hal yang biasa saya cintai. Olahraga? Sudah seperti cinta lama yang tak berbalas. Buku? Seakan huruf-huruf di dalamnya berubah menjadi semut-semut yang berlarian tanpa arah. Bahkan serial drama Korea yang biasanya menjadi sahabat setia saat malam datang, kini hanya menjadi tontonan latar belakang saat pikiran saya melayang entah ke mana. Hidup saya, meskipun penuh potensi, kadang terasa seperti teka-teki tanpa petunjuk. Saya berusaha sebaik mungkin untu...