Friday, July 26, 2019

PUASA SOCIAL MEDIA

Perbincangan antara dua manusia :

👧 : Aku kok ngerasa susah fokus, susah tidur, sering cemas, ya?
👦 : Lha? kok bisa? Emang lagi banyak kerjaan?
👧 : Engga sibuk-sibuk amat kok. Kenapa ya? apa harus ke rumah sakit? tapi aku gak sakit apa-apa.
👦 : hhhmmm. Atau keseringan lembur kali. Coba kurangi lembur. Gak ada orang kaya karena lembur.
👧 : Ya gimana, namanya juga kerja. 
👦 : Belakangan aku sering lihat socmed kamu update terus. Kenapa? Lagi stress ya?
👧 : Mungkin. Tapi aku ngerasa makanku mulai banyak dan dalam 3 minggu naik sekilo. Aneh.
👦 : Nah, berarti kamu stress. Ya namanya juga kerja pasti ada stressnya. Kalau lagi stress, cerita, jangan dipendam. Itu bahaya, nanti kamu mati ! Minimal nanti kamu gila, mau? Coba deh relaksasi. Luangkan waktu buat diri sendiri, baca Al Quran, lakuin hobi, santai gitu. 
👧 : Kan udah cuti 2 minggu lalu. Tapi masih aja kayak gitu.
👦 : Atau kebanyakan main hp kali. Main sosmed. 
👧 : Kayaknya iya sih. Sering kali aku lihat hp. Gak bunyi pun aku rasa hp ku bunyi. Terngiang-ngiang di telinga.
👦 : Tuh kan. Kebanyakan main hp, liat hp, main socmed. Coba deh Puasa Socmed atau kurangilah-kurangilah paling enggak.
👧 : Bisa jadi sih. Belakangan sering lihat-liat instagram sampe lupa waktu. 
👦 : Tuh !
👧 : Tapi kan bosan kalau gak ngapa-ngapain.
👦 : Bosan juga bisa diobatin sama cara lain. Apa kek gitu.  Coba deh kurangi. Paling bagus puasa sih. Aku udah berapa tahun ya gak pakai socmed? Lupa ah. Tapi yang jelas, waktu gak pake socmed, aku jadi ngerasa nyaman. Kalau lagi pengen ngobrol sama orang, langsung ngubungi orangnya, minta waktu duduk bareng di ruang yang sama. Kalau rindu ngomong langsung, I miss you like I miss the rain. Jadi nikmatin koneksi yang sesungguhnya daaaaaaaan aku bisa fokus buat kerja keras bagai kuda.

---------
Saya jadi ingat waktu saya belajar sosiologi dulu, di zaman yang secanggih ini, seperti yang dikatakan Anthony Giddens, tak ada waktu dan ruang yang istimewa, ruang semakin lama semakin tidak dipakai, maksudnya dalam orang berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik.

Media sosial saat ini lebih banyak digunakan sebagai alat pencitraan diri oleh banyak orang, mereka berdramaturgi, begitu dikatakan oleh Erving Goffman. Membangun citra diri sebaik mungkin dan di share di akun miliknya sendiri dan atau menggunakan buzzer.

Kita semakin pasif, semakin tidak bisa membedakan antara yang nyata atau hanya sekedar tontonan. Kita kehilangan substansi pertemuan yang sesungguhnya, kualitas melebihi kuantitas. Mungkin di masa depan pertemuan di dunia nyata adalah hal yang langka, mungkin.

Ah, tapi saya tidak suka berdrama, apalagi berdramaturgi.
Share:

Tuesday, July 23, 2019

Brexit dan Kembali ke Awal

Halo.
Lagi menunggu hujan reda. Sudah lebih 3 jam. Scrolling handphone, baca-baca artikel lalu mati gaya. Oh iya, berita menarik hari ini terpilihnya Boris Johnson, Brexiteer dan mantan walikota London. Apakah dia mampu membawa Inggris keluar dari UE? Mari lihat saja nanti.

Bingung mau ngapain lagi, tapi gak mau ngobrol sama orang, lagi flu berat. Hachim. Hachim.

Well, sepanjang hari ini saya  mendengarkan lagu dari OST Twivortiare. Kembali ke Awal yang dinyanyiin sama Glenn Fredly, salah satu penyanyi favorit saya. So deep. Kalau gak salah, saya pernah beli novelnya Ika Natasha yang gambarnya lambang twitter itu kan, ya?. Tahun lalu saya beli dan belum sempat (belum ada niat) untuk baca. Jangan ditiru ya.

Lagu ini ngomongin tentang hubungan yang kalau dilanjutin ayo, udahan ayo juga. Malas chat tapi kangen. Ketemu tapi sibuk main handphone. Dieman tapi ga marahan. Gak ngabarin berminggu-minggu lalu tiba-tiba ngajak jalan tanpa rasa bersalah. Hubungan yang sudah difase berbahaya. Selagi masih waras, coba deh selamatin hubunganmu, ajak ketemu, bicarakan daei hati ke hati masing-masing, dan salah satu caranya ya 'KEMBALI KE AWAL' dan mengingat segala manis diawal dulu.

Pernah gak sih di fase ini?
Mau lanjut atau mau udahan?

Lirik lagu yang saya suka:
'Berikankan ku alasan untuk tetap bersamamu, setelah lelah berharap'
 'Berjarak dengan waktu, semoga mendewasakan arti rasa satu itu'. 

Beberapa hari ke depan, lagu ini akan terus saya dengarkan di telinga. 
hehehehehe

Share:

Tuesday, July 16, 2019

Menjadi Dewa..sa?

Umur baru.
Semakin ke sini berpikir tentang rencana ke depan. Sudah mulai kurang bersemangat untuk berkumpul ramai-ramai seperti dulu, nongkrong haha hihi. Lebih memilih nongkrong untuk lebih perluasan pergaulan, sama temen lama atau hal yang gak bikin berat. Makin ke sini semakin kecil circle pertemanan. Mulai berpikir bahwa tidak ingin kehidupan pribadi di sosial media. Kita berteman dengan siapa, nongkrong dengan siapa, pacaran dengan siapa, cukuplah kita saja yang tahu. 

Apa itu dewasa?

Mungkin.

Kadang memang, kejutan Tuhan memang bisa mengalahkan penelitian secanggih apapun di muka bumi. Banyak hal yang terjadi beberapa bulan belakangan, yang tidak bisa saya prediksikan sebelumnya. Bahkan, tidak pernah bisa saya prediksikan. 

Tapi, seperti banyak orang bilang, life must go on. Jalani saya, terus berdoa yang terbaik, terus bersyukur dan jangan lupa bersenang-senang.

Tiba-tiba diingatkan kembali lagu 9 tahun lalu Adhitia Sofyan -  Number One. Lagu yang enak didengar simple dan bermakna. Seorang teman pernah berkata lagunya simple banget, mendalam. 


Cause you don't even have to try you already my number one

Intinya kita gak butuh jadi apapun, kita tuh udah nomor satu. Dengernya aja udah terharu ges.
Share:

Wednesday, July 3, 2019

Tidak Perlu Lagu Adhitia Sofyan





Selalu ada masa-masa seperti ini. Saat Jakarta menjelma rindu yang pelik.

Ketika bangun pagi dengan alarm yang bertubi-tubi, membuat saya mengingat hari-hari bekerja di Jakarta. setelah dua bulan di sana, entah bagaimana memberi saya nostagi tentang Jakarta.

Banyak hal yang saya dapatkan, dari menambah ilmu terkait pekerjaan, bagaimana orang-orang bekerja, bagaimana melihat masyarakat yang tidak itu-itu saja. 

Awal-awal bekerja saya tidak ingin bekerja di Jakarta karena kehidupan yang crowded. Namun, setelah mencobanya, ternyata tidak buruk juga. Tergantung bagaimana kita mengaturnya. Work Life Balance !.

Tidak banyak hal yang dapat ditulis. Suatu saat saya akan kembali ke sana untuk bekerja.

****

Yang lalu datang, tak perlu cemas. Karena ia sudah datang berkali-kali dan semua toh baik-baik saja. Justru, semua itu tanda yang asyik bahwa kita telah melalui waktu-waktu yang berharga. Senang dan sedih itu niscaya, berharga itu soal memilih.
Share:

Friday, May 24, 2019

Jakarta dan Bajaj

Saya masih ingat, seorang teman sewaktu di Gonz pernah berkata :
"Buset, Gue kaya diperkosa Jakarta"
Walaupun dia belum pernah diperkosa. Baginya, kereta seperti kaleng sarden yang terombang-ambing. daging-daging menempel dan menghimpit. Hanya sedikit celah untuk mengambil udara, mustahil untuk bergerak, sulit mengubah posisi tangan. 

Macet di Jakarta akibat sudah terlalu banyak manusia. Tanpa pemindahan atau pembasmian manusia, mustahil mengentaskan kemacetan. Sistem transportasi canggih, sulap Demian Aditya, atau petuah Anies Baswedan tak akan mampu menghabisi macet ibu kota.

Sebulan sudah saya hidup di Jakarta menjalani Employee Exchange Program. Namun, beruntungnya saya, setiap hari berjalan kaki, tidak naik komuter, taksi, atau kendaraan lainnya ke kantor. Berbeda dengan sebelumnya, kemana-mana diantar atau naik kendaraan sendiri. Saya paling tidak suka jalan kaki !!!! hahahaha. Tapi, dengan berjalan kaki, sekitar 10 menit, saya sampai di kantor dengan bahagia. Paling tidak hitung-hitung olahraga.

Sudah lama sekali rasanya datang ke kantor dengan penuh semangat. Kalau boleh jujur, saya menikmati. Banyak belajar dengan orang-orang berpengalaman di kantor. Setiap hari ada saja hal-hal baru yang saya pelajari. Bagaimana menyusun strategi publikasi, making decision, bagaimana kinerja tim, berbagi ilmu, pengalaman. Daaaaaan, saya pertama kalinya di make up in di kantor. hahahahah !. Energi positif itu perlu.

Tiga tahun lalu, saya mengingat tulisan saya yang judulnya Pilihan, saya pikir kesempatan ini adalah salah satu kemenangan-kemenangan kecil bagi saya. Tahun ini saya bersyukur banyak diberikan kesempatan lebih. Tantangan baru, lingkungan baru (walaupun 2 bulan program ini) jadinya belajar lagi. Kenyamanan itu berbahaya. Terjebak dalam comfort zoneKetika saya ditugaskan untuk ikut program ini, saya langsung "oke siap !". Karena saya masih muda, belum ada tanggungan, go ahead.


Share:

Tuesday, May 7, 2019

The World Without The Beatles

Tidak enak badan, kemudian membuka twitter, ketemu film yang berjudul Yesterday.
Penasaran, saya buka google kemudian saya ketik " Yesterday Film". Muncul berbagai website yang banyak mereview tentang film ini. Dalam minggu ini, Film tersebut akan segera rilis di Belanda. Saya berharap film ini juga diputar di Indonesia.



Membaca review film ini tidak membuat saya tertarik. Memang, minat baca saya mulai berkurang, tapi saya khawatir, minat untuk berkomentar saya meningkat. Semoga tidak ya. 

Saya kembali membuka youtube dan mengetik di kotak search trailer Yesterday Film. Trailernya saja sudah banyak spoiler.

Film ini menceritakan bagaimana dunia tanpa The Beatles. Awalnya sih konyol, seorang lelaki tertabrak karena tiba-tiba di seluruh dunia terjadi pemadaman global alias mati listrik massal. Tapi si lelaki ini tetap selamat dan bangun dimana dunia tidak pernah memiliki The Beatles.

Setiap dia menyanyikan lagu The Beatles, orang-orang berpikir itu lagu yang dia ciptakan dan si lelaki ini pun menjadi musisi karena lagu-lagu The Beatles. 

Di akhir trailernya, ada Ed Sheeran yang mengubah lagu Hey Jude menjadi Hey Dude. 

Sepertinya kocak.

I have loved The Beatles since I was 18.
The Beatles were always a great band. 
Nothing more, nothing less.


Share:

Only Time Will Heal

Bulan Ramadan ini adalah tahun ketiga saya tidak bersama orang tua. Sedih? Pasti.

Semua mendadak berubah.

Sejak mereka meninggal, saya lebih hati-hati meniti hidup. Mengapa begitu?
Karena saya merasa kehilangan perisai terpenting. Doa orang tua. Bagi anak, doa orang tua lebih kuat 70 kali dari doanya sendiri.

Tiba-tiba ingat kalimat ini
'Dan apabila tertutup mata Ibu kamu, maka hilanglah salah satu keberkatan di sisi Allah, yaitu doa seorang Ibu.

Tapi...
Saya merasa harus bisa jadi 'sesuatu'. Sebut saja Bruce Wayne, Tony Stark, Peter Parker. Mereka bisa jadi sesuatu tanpa doa orang tua. Walaupun itu fiksi sih.

Eh tapi..
Ada juga yang nyata, Nabi Muhammad.

Paling tidak hidup saya tidak lagi di"subsidi" oleh abang dan kakak saya.

Ketika Abah dan Ibu meninggal, saya perlu waktu lama untuk mencernanya. Saya terbiasa pelan-pelan melumat perasaan. Only time will heal.

Ramadan, yuk kita mulai.

Share: